(03-Reportase 2013-22 Maret 2013 Harian Surya) Jangan Takut Salah!

Café memang selalu menjadi tempat yang nyaman untuk kopdar (kopi darat) atau sekedar santai menghabiskan waktu bersama kawan. Kami pun begitu menghabiskan waktu di sebuah café yang cukup elegan, Green Camp Us di daerah Tirto Malang. Sambil menyesap minuman yang kami pesan, waktu kami termanfaatkan dengan suatu yang baik.
                Kala itu kami sekitar 7 orang berkumpul mengikuti sharing penulisan yang diadakan oleh Journalistic Club Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Kali ini sebagai pemateri adalah penulis Abrar Rifai. Dia telah merampungkan satu novelnya yang berjudul Laila. Walau di luar hujan, semangat kami tak turut padam karena air hujan. Justru, kami menikmati sejuknya hujan, sembari mengobrol soal penulisan.
                Di acara yang santai ini kami serius menyimak apa yang disampaikan penulis yang telah lama telah tinggal di sebuah Pondok Pesantren Babul Khairat di Lawang tersebut. “Menulis adalah proses menulis di otak. Yang kemudian memindahkan tulisan di otak itu ke buku tulis, laptop, PC, Ipad dan sejenisnya,” ungkapnya mengawali pembicaraan.
                Dia sama sekali tidak setuju jika menulis itu berteori. Menurutnya, menulis itu tidak bisa diteorikan. Penulis yang lagi merampungkan sekuel Laila, yang berjudul Mahabbatain, ini mengatakan “Kalau menulis ya menulis saja, tak perlu bingung karya kita ini bagus apa nggak.”
Dia menambahkan abaikan saja dulu kesalahan yang ada. Tulis dulu semua yang ada di otak. Menulis itu seperti anak kecil yang terus tumbuh menjadi besar. Belajar duduk, belajar berjalan dan seterusnya. Begitu pula dengan menulis maka setiap hari maka akan semakin baik tulisan kita.
                Menulis dan membaca itu adalah saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Maka, kewajiban kita yang belajar menulis selain menulis adalah membaca. Abrar menyarankan untuk jangan pilih-pilih bacaan, membaca apa saja yang ada, baik fiksi ataupun nonfiksi. Jika ingin menulis nonfiksi, jangan hanya membaca fiksi saja tetapi baca juga buku-buku nonfiksi, koran, dan lainnya. Karena, itu materi-materi yang akan kita tuliskan dalam tulisan fiksi. Dari nyata, ke tulisan fiksi.
                Selain itu saran Abrar adalah banyak menonton, banyak mendengar, kemudian ditanggapi dengan tulisan. Dia juga menguatkan motivasi dan keberanian audience yang hadir untuk tidak hanya menulis kemudian disimpan. Menulislah lalu dipublis! Sekarang zaman sudah canggih, bisa di fecebook atau blog yang berbagai macam itu. Terakhir, Abrar mengatakan penulis pemula itu harus berkomunitas. Agar terjaga semangat menulisnya. Ada seperti JC ini, ada FLP yang lebih besar, dan banyaknya grup penulisan yang banyak di Facebook.
                Dalam sesi pertanyaan, salah satu audience menanyakan perihal bahwa dia pernah membaca sebuah buku bahwa menulis itu harus bersastra. Akhirnya, hal itu membuat dia takut untuk menulis. Maka, dengan tegas Abrar menolak pendapat penulis buku tersebut. Karena, tidak semua buku harus sastra. Menulis sajalah, mengalir saja. Menulis jangan takut salah! 563430_4500878565020_596432725_nIMG_0007

(1-Gagasan Jawa Pos 2013-19 Februari 2013) Menjadi Guru Bukan Untuk Mengeluh*

Beberapa hari lalu saat saya membimbing adik-adik di sebuah sekolah dasar membuat madding, saya menemukan seorang guru mengeluh di hadapan saya. “Di sini kurang fasilitasnya mas. Saya ingin di sini ada aula khusus untuk acara. Mushala dan perpustakaan sudah sering dipakai kegiatan siswa lain. Jadi kalau ada ruangan khusus, jadi enak mas kalau ada kegiatan seperti. Tapi ya itu di sini ini sulit mas Ridho, nggak seperti tempat lain.”

Saya hanya tersenyum dan mendiamkan apa yang dikatanya. Saya sangat menyayangkan seorang guru yang mengeluh hanya karena kekurangan fasilitas. Sungguh, dalam hati saya bertanya apa dia tidak malu dengan anak didiknya yang tetap ceria dan bersungguh-sungguh dalam belajar walau dalam kekurangan?

Apa dia belum tahu bagaimana kiprah Pengajar Muda yang digagas Indonesia Mengajar. Mengajar di daerah pelosok yang bahkan sulit listrik dan alat-alat belajar mengajar lainnya, tidak seperti di tempatnya yang sudah ada listrik. Namun, mereka tetap semangat mengabdi, menyalakan peradaban tanpa mengeluh.

Seorang guru yang digugu dan ditiru, tak selayaknya menjadi pengeluh. Karena ia adalah pengajar anak bangsa agar semangat menjalani hidup meraih masa depan yang lebih baik. Jika gurunya saja mengeluh maka bisa jadi anak didiknya tak jauh dari gurunya nanti. Harapannya, semoga semakin banyak guru dengan semangat mengabdi tanpa batas dan tanpa mengeluh.

*judul diganti oleh redaksi menjadi Guru Jangan Tularkan Keluhan. Dan ada beberapa yang diedit.179269_4426973637443_874197044_n