Semesta Mendukung

Baru saja saya selesai menonton film karya anak negeri. Semesta Mendukung (2011) –tertinggal amat ya hehe, yang diangkat dari sebuah buku karya Profesor Yohanes Surya. Buku yang berisi kumpulan kisah inspiratif anak-anak Indonesia memenangkan olimpiade fisika. Dalam film ini, lebih ditekankan pada kisah anak Madura (Sumenep) bernama Muhammad Arief (Sayef Muhammad Billah).

Sebagaimana orang asli Madura lainnya, bapak Arief (Lukman Sardi) bekerja sebagai pembuat garam. Karena sering gagal panen, bapaknya kerja sebagai supir truk  serabutan. Ibu Arief (Helmalia Putri) sudah lama meninggalkannya, menjadi TKI di Singapura. Lama tak ada kabar, tentu Arief sangat merindukan ibunya. Karenanya, dia sangat ingin ke Singapura untuk mencari ibunya dan mengajaknya kembali ke Indonesia.

Arief kenal Cak Alul (Sudjiwo Tedjo) yang akan membantunya mencari ibunya di Singapura. Tetapi Arief harus membayar sebanyak lima juta. Uang sebanyak itu tentu sangat banyak bagi keluarga Arief. Dia tidak mungkin meminta kepada bapaknya. Akhirnya, dia bekerja di bengkel dan pemberi pesan kepada pengadu karapan sapi apakah mereka akan menang atau kalah dengan melihat besar dan berat sapi, juga memperhatikan keadaan tanah perlombaan.

Arief di sekolah menyukai fisika, tidak hanya teori Arief bisa menyederhanakan fisika dengan keseharian dalam hidup. Suatu ketika Arief sedang belajar sedangkan temannya bermain sepak bola. Bola tersangkut di pohon. Teman-temannya tidak bisa mengambil dengan menaiki pohon karena pohon tersebut banyak semutnya. Arief menyuruh temannya mencari botol air mineral, pompa, dan air satu ember.

Semua orang bertanya-bertanya tentang apa yang akan Arief lakukan, ternyata Arief menekan botol yang telah terisi air itu dengan udara dari pompa sehingga bisa meluncur dan mengenai bola yang tersangkut di pohon. Senanglah semua temannya, dan kagum pada kecerdasan Arief. Tak terkecuali guru fisikanya, Tari Hayat yang diperankan oleh Revalina S. Temat.

Meski gagal untuk mengikuti olimpiade fisika karena tidak didukung oleh kepala sekolah (D. Zawawi Imron), Bu Tari masih mencari jalan lain untuk Arief. Dan ternyata jodoh Arief dengan fisika ada di FUSI, Fisika Untuk Semua Anak Indonesia. FUSI dipimpin Tio Yohanes, pimpinan Tari dulu sebelum memilih mengabdi di pelosok Madura.

Awalnya, ada pergolakan batin dalam diri Arief. Dia ingin mengikuti, namun di sisi lain dia ingin terus bekerja agar bisa bertemu dengan ibunya. Namun, ketika tahu bahwa olimpiade kali ini akan diadakan di Singapura, akhirnya dia mencoba untuk berpikir lagi. Akhirnya, keputusannya adalah mau mengikuti seleksi dengan harapan bisa sekali mendayung dua tiga pulau terlampui. Mengikuti olimpiade di Singapura sekaligus menemukan ibunya. Dengan bergabungnya Arief dengan FUSI, dia berhasil menjadi juara olimpiade.

Dalam film keluarga yang diproduksi oleh Falcon Production dan Mizan Production ini ada scene yang sempat membuat saya meneteskan air mata, entahlah karena memang memilukan atau saya yang terlalu perasa ya. Tepatnya pada scene ketika ayah Arief mengejar mobil yang akan membawa Arief ke Jakarta dengan truknya. Ayah Arief memberi Arief sarung, mengingatkan Arief jangan lupa sholat. Percakapan kali ini banyak memakai bahasa Madura, dan Lukman Sardi cukup fasih. Nyess gitu rasanya…

Beberapa percakapan Madura Revalina agak kaku, sedangkan Sudjiwo cukup fasih juga, bahkan lebih dari Lukman Sardi. Maklumlah, beliau orang Jember yang termasuk di Tapal Kuda (Besuki) yang rata-rata masyarakatnya memakai bahasa Jawa-Madura. Termasuk daerah saya, Bondowoso hehe…

Oleh-oleh dari Film ini tentu ada, pertama mengenalkan Madura pada penonton seperti halnya dalam Laskar Pelangi yang mengenalkan Belitong. Sayang, saya sebagai penonton merasa ada yang kurang ditampilkan daya tarik indahnya Pulau Madura dari segi keindahannya. Kecuali ada satu saat menjelang senja di pinggir kincir angin, Arief, Ibu dan Ayahnya berada di sana dan terlihat indah. Kedua, rumah tangga tidak lengkap memang sangat tidak enak, namun meski begitu Arief bisa melaluinya dengan berprestasi. Ketiga, pendidikan yang kadang masih tidak memandang apa yang ada dalam diri anak. Seperti kepala sekolah yang kurang suka dengan Bu Tari yang peduli dengan Sains. Sedangkan dirinya lebih suka dengan teknologi seperti komputer dan internet. Sehingga, untuk olimpiade di Provinsi tidak disetujui yang berarti tidak akan ada dana.

Keempat, persahabatan yang membuat Arief bisa bertahan di tempat penyeleksian FUSI. Selain itu bersahabat dengan orang Madura yang sudah lama berada di Jakarta dan menjual Ketoprak, yang biasa dipanggil Paman Kumis oleh Arief (Indro Warkop), membuat Arief semakin bertahan dan mau berjuang. Munculnya Kumis memang sedikit, namun dia memiliki peran motivator dan menjadikan alur cerita menjadi lebih menarik.  Indro pun bagus dalam bercakap Madura, seperti orang Madura asli.

Kelima, adalah daya juang yang tiada habis dari Arief menjadi hikmah yang bisa diteladani oleh siapa saja. Sedangkan konsep Mestakung yang menjadi tema utama dalam film ini, kurang cocok dengan keyakinan (aqidah), yang saya yakini- bagi saya saja, yang lain silakan berpendapat. Karena tidak semua yang diniati, ada usaha, dan semua mendukung itu akan mendapatkan kesuksesan. Siapakah yang mengatur kesuksesan dan kegagalan selain Sang Pencipta. Bukankah manusia hanya berusaha, sedangkan Tuhan menentukan? Man proposes God disposes.

Bahayanya, jika tidak ada filter, dan meyakini semua usaha akan berhasil. Maka, jika nantinya akan mengalami kegagalan dia akan down dan bisa-bisa menyalahkan Tuhan. Karenanya, optimis wajib, namun tetap menyerahkan semua hasilnya pada Allah Subhana wa Ta’ala. Akhirnya, meski ada yang kurang cocok dengan konsep utama film ini, namun dengan hikmah di atas saya rasa film ini layak ditonton –bagi Anda yang belum menonton. Meski terlambat- seperti saya hehe, tidak mengapa karena inspirasi dan motivasi dalam film ini tidak akan pudar karena tertinggal zaman. Selamat menonton!