Puisi Dimuat di Sabili Edisi 29 Maret 2012

Kepada

: Ayahku

Kening yang selalu mengalir peluh itu

Akan kubasuh nanti

Pada saatnya cahaya akan turun ke matamu

Membinarkan sorot matamu

Melengkungkan senyum bibirmu

: kusampaikan mimpi-mimpi itu telah kupeluk satu-persatu,

nanti.

5 Desember 2011, Rumah Taqwa Malang

Kepada

: Ummiku

Ingin kubayar setiap asuh dan didik

tak terhingga

Hingga lunas tanpa jasa

Namun sungguh membayar sekolah paling mahal

saja tak cukup untuk membayarmu

Kau sekolah pertamaku

dan selama hidupku

tak ada bandingmu

: shalih dan do’aku semoga cukup berarti bagimu,

walau mustahil tuntas hutangku padamu

16-17 Muharram 1433, Rumah Taqwa Malang

Kepada Abiku

: KH. Muhammad Ma’shum

Jika petuahmu adalah gelora dan cinta

Generasi yang pintar dan benar harapannya

Cita-cita tentang mulianya islam mendatang

Semakin luas dan benderang sejagat raya

Engkau selalu bertitah tentang

Betapa sucinya Al-Qur’an dan nikmatnya qiyam

:“Hendaklah setiap harinya kalian membaca Qur’an walau seayat,

     dan shalatlah malam walau satu raka’at”

Jalan-jalan cinta yang kau tapak

Adalah mula yang kurunut alurnya

Suka duka bersama dzikir yang silih berganti

Hingga kau selalu pada manisnya hidup bersama-Nya

Dalam dekapan iman yang menghangatkan semesta

Bukan khayal jika engkau memuitiskan cinta

    : “Mari bersama-sama kita terbang ke syurga”

18.10.2011,00.13, Rumah Taqwa Malang.

Mungkin, Allah Belum Mengizinkan… (Kesan Membaca Buku Saatnya Untuk Menikah/naskah lomba untuk Pro U Media)

Akhir-akhir ini memang saya banyak membeli buku bertema pernikahan. Ketika Islamic Book Fair Malang pertengahan tahun 2011 lalu, saya membeli buku Saatnya Untuk Menikah karya ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Buku yang saya pilih yang mungkin akan membantu saya menghadapi ujian, ya menurut saya ini adalah ujian.

Ujian itu adalah, tentang pandangan mata saya yang semakin diuji. Saya meyakini apa yang saya alami ini adalah ujian Allah terhadap saya. Apakah saya bisa melaluinya dengan baik atau tidak? Itu yang mungkin Allah ujikan. Saya memahami pandangan mata bisa menjadi awal dari sebuah maksiat.

Nah, sekarang yang saya alami adalah saya tak mampu menahan pandangan. Itu saya sadari, saat ini pandangan saya gampang tergoda dan mampu membuat syahwat diri bangkit. Tak bisa saya pungkiri, mata saya sangat mudah memandangi lawan jenis, baik di kampus yang bebas tak berkerudung apalagi di luar kampus, yang saya rasa ke mana arah mata saya memandang maka di sana ada lawan jenis. Dan itu membuat saya merasa diuji, ya harus saya katakana lagi saya harus menahan.

Entah ini hanya saya alami atau juga dialami oleh sesama lelaki yang lain bahkan perempuan apakah juga mengalami hal yang sama. Atau itu hanya saya yang mengalami, karena saya telah lama berada dalam sebuah pondok pesantren yang jarang berinteraksi dengan lawan jenis, nah ketika keluar pondok dan berada dalam dunia sekuler saya pun merasakan hal ini.

Sungguh, jika saya harus jujur ini cukup meresahkan hati saya. Gelisah itu terkadang membuat saya tak nyaman, dengan keadaan saya yang seperti ini. Namun, saya selalu berfikir ini merupakan ujian dari Allah bagi saya. Sehingga, semampu mungkin saya berusaha untuk selalu mendekatkan diri padaNya dan berdo’a agar selamat dari ujian ini. Sampai saya sempat berfikir, seandainya kedua mata ini adalah sepasang mata malaikat, tentu saya mampu menahan semua godaan, karena tak memiliki nafsu dan selalu taat pada Allah. Setelah itu saya beristighfar, meminta ampun kepada Allah, dan kembali meyakini ini adalah ujian dari Allah untuk saya.

Saya berharap, semoga dengan buku ini saya mendapatkan pencerahan tentang ujian yang saya alami. Lembar perlembar pun saya habiskan dengan memahaminya. Hingga saya pun bertanya-tanya, “Apakah sudah saatnya saya menikah?.” Saya pun selalu berdo’a dan meminta petunjukNya. Apakah benar sudah saatnya saya menikah, ataukah saya masih harus menahan diri dan menganggap ini adalah ujian yang menunjukkan bahwasanya belum saatnya saya menikah.

Karena sekian hari mata pun semakin tak mampu menahan godaan. Saya pun mencoba ikhtiar, meminta izin pada orang tua apakah saya boleh untuk menikah saat ini. Suatu saat pun saya mencoba, namun orang tua masih belum membolehkan dan mengatakan “Banyak shalat dan puasa nak…”. Saya tak bisa mengatakan apa-apa lagi, saya menyetujui itu. Saya terus mencoba mendekatkan diri dan berbuat baik serta memohon pertolonganNya.

Januari lalu, ketika umur saya sudah mencapai 21 tahun, saya mencoba kembali membuka peluang. Tapi, orang tua masih tetap saja bersikukuh tidak membolehkan dan mengatakan, “Akan memberi makan apa kamu pada anak orang?.” Sebuah, pertanyaan yang wajar menurut saya, sebagai orang tua tentunya beliau tidak mau anaknya menelantarkan anak orang lain (istri anaknya) karena tak mampu memberi nafkah. Saya pun kembali mengamini apa yang orang tua saya katakan itu, dan kembali menahan diri.

Sampai saat ini, saya akan terus berikhtiar. Karena saya telah memahami berkat buku ustadz Fauzil Adhim, bahwasanya bukan mapan ukuran orang telah siap menikah, tapi ukurannya adalah siap menafkahi atau tidak. Dengan terus mendekatkan diri, saya pun akan terus berusaha agar orang tua yakin saya mampu menafkahi istri saya nantinya. Saat ini, saya berusaha mengerahkan kemampuan saya dalam menulis. Dengan menulis berjama’ah, mengirim karya ke media, dan menyelesaikan calon buku solo pertama. Begitu juga ada keturunan jiwa enterpreuner dari ummi saya, saya juga menjual buku, dan insya Allah akan menjual selain buku nanti. Ya, saya akan membuktikan, bahwasanya saya mampu.

Seperti batu keras yang kemudian bisa lubang dan pecah karena tetesan air, itu yang akan saya lakukan, pelan demi perlahan saya terus membuka peluang agar orang tua merestui saya menikah di usia muda, demi menjaga kehormatan agama saya dan tentunya kehormatan keluarga pula. Semoga saya mampu tetap istiqomah di jalanNya, sampai nyawa pun sudah tak tersisa dalam badan. Lirih hati ini berkata, mungkin, saat ini Allah belum mengizinkan.