Nah, sekarang yang saya alami adalah saya tak mampu menahan pandangan. Itu saya sadari, saat ini pandangan saya gampang tergoda dan mampu membuat syahwat diri bangkit. Tak bisa saya pungkiri, mata saya sangat mudah memandangi lawan jenis, baik di kampus yang bebas tak berkerudung apalagi di luar kampus, yang saya rasa ke mana arah mata saya memandang maka di sana ada lawan jenis. Dan itu membuat saya merasa diuji, ya harus saya katakana lagi saya harus menahan.
Entah ini hanya saya alami atau juga dialami oleh sesama lelaki yang lain bahkan perempuan apakah juga mengalami hal yang sama. Atau itu hanya saya yang mengalami, karena saya telah lama berada dalam sebuah pondok pesantren yang jarang berinteraksi dengan lawan jenis, nah ketika keluar pondok dan berada dalam dunia sekuler saya pun merasakan hal ini.
Sungguh, jika saya harus jujur ini cukup meresahkan hati saya. Gelisah itu terkadang membuat saya tak nyaman, dengan keadaan saya yang seperti ini. Namun, saya selalu berfikir ini merupakan ujian dari Allah bagi saya. Sehingga, semampu mungkin saya berusaha untuk selalu mendekatkan diri padaNya dan berdo’a agar selamat dari ujian ini. Sampai saya sempat berfikir, seandainya kedua mata ini adalah sepasang mata malaikat, tentu saya mampu menahan semua godaan, karena tak memiliki nafsu dan selalu taat pada Allah. Setelah itu saya beristighfar, meminta ampun kepada Allah, dan kembali meyakini ini adalah ujian dari Allah untuk saya.
Saya berharap, semoga dengan buku ini saya mendapatkan pencerahan tentang ujian yang saya alami. Lembar perlembar pun saya habiskan dengan memahaminya. Hingga saya pun bertanya-tanya, “Apakah sudah saatnya saya menikah?.” Saya pun selalu berdo’a dan meminta petunjukNya. Apakah benar sudah saatnya saya menikah, ataukah saya masih harus menahan diri dan menganggap ini adalah ujian yang menunjukkan bahwasanya belum saatnya saya menikah.
Karena sekian hari mata pun semakin tak mampu menahan godaan. Saya pun mencoba ikhtiar, meminta izin pada orang tua apakah saya boleh untuk menikah saat ini. Suatu saat pun saya mencoba, namun orang tua masih belum membolehkan dan mengatakan “Banyak shalat dan puasa nak…”. Saya tak bisa mengatakan apa-apa lagi, saya menyetujui itu. Saya terus mencoba mendekatkan diri dan berbuat baik serta memohon pertolonganNya.
Januari lalu, ketika umur saya sudah mencapai 21 tahun, saya mencoba kembali membuka peluang. Tapi, orang tua masih tetap saja bersikukuh tidak membolehkan dan mengatakan, “Akan memberi makan apa kamu pada anak orang?.” Sebuah, pertanyaan yang wajar menurut saya, sebagai orang tua tentunya beliau tidak mau anaknya menelantarkan anak orang lain (istri anaknya) karena tak mampu memberi nafkah. Saya pun kembali mengamini apa yang orang tua saya katakan itu, dan kembali menahan diri.
Sampai saat ini, saya akan terus berikhtiar. Karena saya telah memahami berkat buku ustadz Fauzil Adhim, bahwasanya bukan mapan ukuran orang telah siap menikah, tapi ukurannya adalah siap menafkahi atau tidak. Dengan terus mendekatkan diri, saya pun akan terus berusaha agar orang tua yakin saya mampu menafkahi istri saya nantinya. Saat ini, saya berusaha mengerahkan kemampuan saya dalam menulis. Dengan menulis berjama’ah, mengirim karya ke media, dan menyelesaikan calon buku solo pertama. Begitu juga ada keturunan jiwa enterpreuner dari ummi saya, saya juga menjual buku, dan insya Allah akan menjual selain buku nanti. Ya, saya akan membuktikan, bahwasanya saya mampu.
Seperti batu keras yang kemudian bisa lubang dan pecah karena tetesan air, itu yang akan saya lakukan, pelan demi perlahan saya terus membuka peluang agar orang tua merestui saya menikah di usia muda, demi menjaga kehormatan agama saya dan tentunya kehormatan keluarga pula. Semoga saya mampu tetap istiqomah di jalanNya, sampai nyawa pun sudah tak tersisa dalam badan. Lirih hati ini berkata, mungkin, saat ini Allah belum mengizinkan.